Rabu, 16 Desember 2015

MELACAK JEJAK SEJARAH KAPITEN SOUW BENG KONG DI KAWASAN KOTA TUA JAKARTA

  
 
Adakah yang mengenal Souw Beng Kong ? Dia adalah tokoh yang menarik, karena merupakan kapiten Tionghoa pertama di Batavia. Tentu saja, ia memiliki pengaruh yang besar dalam pembangunan dasar kota Jakarta. Lelaki asal Tong An, Hokkian ini ditunjuk sebagai kapiten oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen pada 1619. Pembangunan kota Batavia semasa kepemimpinannya dalam decade pertama bersama VOC, mulai dari daerah Taman Fatahillah, Pasar Ikan, Kali Besar, hingga Roa Malaka.

Gelar Kapiten, merupakan gelar yang diberikan VOC untuk pemimpin golongan di Batavia. Souw Beng Kong wafat pada 1644, dan saat ini makamnya berada di tengah-tengah pemukiman padat, di daerah Jalan Jayakarta, Mangga Dua, Jakarta Barat. Makam Souw Beng Kong, persisnya berada di Gang Taruna, dan telah mengalami pemugaran pada tahun 2008. Sebelum pemugaran, warga setempat tidak ada yang tahu, siapa yang bersemayam di pemakaman itu.  Bahkan, makam itu sempat menjadi bagian dari usaha kos-kosan, dan yang lebih ironis lagi, batu nisan-nya bersisian dengan septic tank warga setempat.

Gang Taruna, tempat makam Souw Beng Kong berada, didominasi warga keturunan Tinghoa. Dalam catatan kantor Kelurahan Mangga Dua, warga keturunan Tionghoa mencapai 90 persen dari total 800 kepala keluarga di sana. Mereka bekerja sebagai pegawai took obat, tekstil, atau penjual daging babi.

Makam Souw Beng Kong, saat ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Yayasan Souw Beng Kong (YSBK). YSBK resmi didirikan pada 25 Januari 2008. Namun, jauh sebelum yayasan itu diresmikan, sudah ada beberapa aktivis Tionghoa dan pemerhati cagar budaya merencanakan pemugaran makam Souw Beng Kong.

Pada tahun 2002, proyek pemugaran makam Souw Beng Kong mulai diprakarsai Paguyuban Sosial  Marga Tionghoa Indonesia, YSBK, dan Yayasan Marga Souw yang saat ini berpusat di Taman Grisenda, Pantai Indah Kapuk. Menurut mereka, penting untuk melestarikan dan menjaga makam Souw Beng Kong sebagai warisan budaya Tionghoa.

Proyek pemugaran baru benar-benar terealisasi mulai 23 Maret 2006 hingga selesai pada 10 April 2008, dan menghabiskan dana 1, 25 miliar. Dana sebesar itu, tidak terlepas dari pembebasan 250 meter persegi lahan yang sebelumnya sudah dikuasai warga. Hingga saat ini, YSBK masih ingin mewujudkan hasratnya menjadikan kawasan makam Souw Beng Kong menjadi area taman budaya makam Tionghoa. YSBK juga akan mengembalikan lahan sekitar makam yang sesak menjadi lebih lapang. Total target pembebasan lahan mencapai 1,6 hektar dengan biaya yang dibutuhkan ditaksir mencapai Rp 20 miliar. Selain itu mereka juga membutuhkan kepastian pemerintah agar makam ini menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang dilindungi.


MENUJU MAKAM SOUW BENG KONG
 Posisinya yang berada di kawasan Kota Tua, membuat lokasi makam Kapiten Souw Beng Kong sangat strategis. Ada dua alternative transportasi yang dapat digunakan untuk menuju ke sana. Kereta Commuterline, biasanya menjadi transportasi favorit para pengunjung dari Depok ataupun Vogor, Jawa Barat. Jika naik kereta commuterline, kita hanya tingga duduk dan turun hingga pemberhentian terakhir di stasiun Jayakarta. Biaya perjalanan tak lebih dari Rp 9 ribu untuk sampai di stasiun yang dulu dikenal dengan nama Staisun Beos itu.

Alternatif serupa juga dapat ditempuh melalui Bus Trans Jakarta. Biayanya pun sebanding dengan menggunakan commuterline. Hanya saja, jika menggunakan bus Trans Jakarta, perjalanan akan lebih berwarna bagi para pengunjung yang berangkat dari daerah Jakarta Selatan.  Sebab, sebelum sampai di sana, kita akan lebih dulu melewati berbagai monument bersejarah seperti Monas dan Istana Negara, sebelum melaju lurus di jalur Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Untuk sampai ke makam Souw Beng Kong, Trans Jakarta akan berhenti tepat di shelter Jayakarta.

Menyisir jalan Jayakarta, dapat kembali ditempuh dengan menggunakan mikrolet ataupu ojek. Semua kendaraan yang melintas di jalan Jayakarta, biasanya memiliki rute Mangga Dua atau Stasiun Kota menuju kembali kea rah Harmoni. Cukup Rp 2-3 ribu untuk sampai di depan Gang Taruna. Jika alamat masih kurang jelas, kita cukup berhenti di SPBU pertama saat sudah memasuki jalan Jayakarta.

Sedangkan untuk kendaraan ojek, bisa dipesan persis di halaman luar stasiun Jayakarta. Meski sedikit lebih mahal, Rp 10 ribu, namun sudah pasti tukang ojek langsung mengantarkan kita ke tujuan. Tukang ojek setempat mengenal Gang Taruna dengan nama Gang Souw Beng Kong.

BERKUNJUNG KE MAKAM SOUW BENG KONG
Makam Souw Beng Kong terletak dalam sebuah gang sempit di Jalan Jayakarta yang dulu bernama Jacatraweg atau Jaketra Road. Memang, setelah wafat pada 1644 keberadaan makam Souw Beng Kong diketahui berhimpitan dengan kepadan warga di kawasan Mangga Dua, Jakarta Barat. Lebih betail lagi ada di Gang Taruna.

Letak Gang Taruna, berada kurang lebih sepuluh meter dari SPBU Pertamina Jalan Jayakarta. Gang itu hanya selebar 1,5 meter. Kawasan pemukiman di Gang Taruna, tepatnya di RT 002/07 Kelurahan Mangga Dua, Sawah Besar, ini sangat sesak dan padat. Bila menyusuri gang ini dengan motor, kita akan sering bersenggolan dengan beberapa pengendara motor lain dari arah berlawanan. Padahal pada pertengahan abad ke 17, lokasi ini adalah perkebunan kelapa seluas 20 ribu meter persegi yang diberikan VOC untuk Kapiten Souw Beng Kong.

Untungnya, lokasi pemakaman tak jauh dari muka gang. Makam pembesar Tionghoa ini berada seratus meter dari muka gang, dan di sisi kanan jalan utama Gang Taruna. Bongpay (nisan) masih terlihat bersih dalam tulisan dua bahasa, Cina dan Belanda. Makam ini beraltar keramik dengan luas tak lebih dari 200 meter persegi. Area makam ditutup dengan pagar teralis tanpa cat setinggi dua meter.
 
 
 Hanya ada satu pintu untuk masuk ke kawasan makam. Di tengah padat dan tingginya bangunan warga sekitar, pagar teralis makam dimanfaatkan sebagai tempat menjemur pakaian. Situasi makam terlihat tak terurus dengan banyaknya sampah sisa-sisa kemasan plastik minuman yang dibuang di sekitar situ. Persis di samping makam, berdiri sebuah mushola dengan tempat mengambil air wudhu yang dibangun seadanya.

Namun untuk menjaga kondisi makam, Yayasan Souw Beng Kong memperkerjakan seorang petugas kebersihan, yang sekaligus bertanggung jawab terhadap keberadaan makam ini. Bila makam ini akan didatangi rombongan yang akan berziarah, altar makam akan dirapihkan, bahkan bila perlu tenda dari terpal pun siap dipasang untuk menaungi areal makam.


Memang, makam Kapiten Souw Beng Kong ini, masih menjadi salah satu tempat favorit para etnis Tionghoa berziarah. Pada musim semi dan musim gugur (April dan September), puluhan hingga ratusan peziarah dari etnis Tionghoa akan berbondong-bondong melakukan sembahyang di sini.

Mobil peziarah, biasanya diparkir di jalan raya dekat gang. Uang parker yang masuk akan menjadi rezeki bagi warga setempat. Masyarakat Gang Taruna sudah mengenal, bahwa pada tanggal 4-10 April merupakan hari Ceng Beng, atau festival ziarah para etnis Tionghoa ke makam leluhurnya.

MENGENAL LEBIH DEKAT KAPITEN SOUW BENG KONG DAN KIPRAHNYA DI BATAVIA

Souw Beng Kong lahir pada 1580 pada dinasyi Ming di sitrik Tong An, Privinsi Hok Kian, Tiongkok, Cina Selatan. Dinasti Ming adalah dinasti terakhir yang dikuasai suku Han. Artinya, Souw Beng Kong bukanlah pemuda Tionghoa dengan model rambut tou-ciang (model kuncir). Sebab model rambut itu baru diberlakukan terhadap seluruh pemuda Tionghoa pada era suku Mancu yang membagun dinasti Qing pada 1644-1991.

Souw Beng Kong adalah pemuda Tionghoa yang ulet dan piawai dalam urusan berniaga. Melintasi derasnya gelombang laut selatan, perahu jung Tiongkok yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Banten pada 1614. Kepiawaiannya dalam manajemen dan menguasai para pedagang Tionghoa, membuatnya menjadi penanggung jawab ekspor impor rempah Banten di bawa kesultanan Banten saat itu. Souw Beng Kong juga bukan sembarang pemuda, ia juga terkenal sebagai ahli pertanian.

Hubungannya dengan Belanda terjalin saat Gubernur Jenderal VOC Pieter Both mengutus Jan Pieterszoon Coen membuka wilayah dagang ke tanah Jayakarta pada 1611. Jan Pieterszoon Coen resmi diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pada 1619 seiring keberhasilan VOC menaklukkan wilayah yang dahulunya dipegang Pangeran Jayakarta.

Souw Beng Kong dirayu untuk memindahkan seluruh penduduk Tionghoa dari Banten ke Batavia. Souw Beng Kong menerima tawaran itu dan lantas membawa setidaknya 300 orang Tionghoa yang semula berniaga di Banten. Awalnya Souw Beng Kong sempat menolak, karena ia masih sangat dibutuhkan di Banten. Tapi akhirnya ia menerima tawaran itu, lantaran ada beberapa persoalan antara kerajaan Banten dan komunitas Tionghoa di sana. Di Banten saat itu juga tengah terjadi paceklik panjang.

Pada 11 Oktober 1619, Souw Beng Kong diangkat pertama kali sebagai pemimping kelompok Cina karena mampu membawa dan mengatur etnis Tionghoa di Batavia. Di bawah komando Souw Beng Kong, bandar dagang Tionghoa yang berpusat di Loji Selatan (sekarang menjadi kawasan Kota Intan belakang Galangan VOC), maju pesat.

Souw Beng Kong menjadi Kapiten Tionghoa (Kapitein der Chinezen) pertama di seluruh jajahan Hindia Belanda. Pasta Kapiten Cina, barulah beberapa gelar kapiten lain diberikan untuk pemimpin kelompok non pribumi lainnya. Gelar kapiten sendiri merupakan adopsi dari era Portugis yang saat sebelumnya pernah menjajah negara kita.

Souw Beng Kong juga menjadi kapiten telama untuk golongan Tionghoa di Batavia. Jabatan itu ia sandang dalam enam periode kegubernuran VOC (JP Coen, Pieter de Carpenter, JP Coen, Jacques Speck, Hendrik Brouwer, dan Antonio van Dieman). Souw Beng Kong melepas jabatannya pun dengan permintaan sendiri. Pada 3 Juli 1636, Souw Beng Kong mengundurka diri dan VOC lantas menunjuk Kapiten Lim Lak Tjo sebagai penggantinya.

Semestinya, sekretaris Souw Beng Kong, yang bernama Gouw Tjai yang naik menggantikannya. Tapi itu semua sudah menjadi keputusan VOC. Gouw Tjai merupakan asisten Souw Beng Kong yang diketahui beragama Islam. Jejak peninggalannya dapat dilihat dengan didirikannya masjid yang kini masih berdiri di daerah Angke, Jakarta Barat. Masjid itu kini bernama Angke Al Anwar, persisnya terletak di Jalan Pangeran Tubagus Angkem Gang Masjid 1 RT 01/05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
 
 Kapiten Souw Beng Kong wafat pada 8 April 1644 pada usia 50 tahun. Souw Beng Kong diyakini meninggal dalam kondisi yang wajar karena usia tua. Ia dimakamkan sebulan kemudian di tanah perkebunannya yang sekarang bernama Gang Taruna. Urbanisasi besar-besaran pasca kemerdekaan, membuat lahan perkebunan Beng Kong akhirnya tergerus dan menjadi lahan pemukiman.

APAKAH MASIH ADA PENINGGALAN LAIN SOUW BENG KONG ?

Ada yang bilang, selain makam, tidak ada lagi peninggalan Souw Beng Kong yang tersisa. Jejak peninggalan maupun bekas kediamannya kini sudah tak menyisakan lagi bentuknya.  Satu-satunya jejak sejarah yang masih bisa diketahui dari Souw Beng Kong adalah, ia tutup usia di sebuah rumah di Jalan Cengkeh, tak jauh dari Museum Bahari. Museum yang berseberangan dengan Pasar Ikan itu dulunya merupakan gudang penumpukan rempah-rempah VOC. Namun, sampai sekarang pun belum ada yang tahu, bangunan itu saat ini berubah menjadi apa ?

Jalan Cengkeh dulunya merupakan kawasan khusus VOC, tempat bermukimnya pejabat-oejabat penting yang berperan besar dalam keberlangsungan bisnis Belanda. Jalan Cengkeh pada zaman pemrintahan colonial Belanda bernama Prinsen Straat (Jalan Pangeran). Jalan ini satu garis lurus dengan Museum Kota Jakarta jika ditarik ke arah utara.  Sejarahnya, nama Prinsen Straat diambil lantaran jalan sepanjang 150 meter ini merupakan akses dari kastil Belanda menuju balai kota yang saat ini menjadi Museum Kota Tua. Selain itu, jalan itu juga merupakan akses utama dan urat kehidupan Batavia tempo dulu. Namanya berubah jadi Jalan Cengkeh juga karena di sana banyak sisa rempah cengkeh yang jatuh tersisa di jalan.

Secara administratif, posisi Jalan Cengkeh terletak di Kelurahan Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat. Di sebelah selatannya juga terdapat Kantor Pos Kota Tua, sementara sebelah utaranya berbatasan langsung dengan Jalan Tongkol yang dahulunya pernah berdiri kastil Belanda yang dibangun JP Coen. Kastil itu telah dirobohkan pada tahun 1810 saat kegubernuran Hindia Belanda dipegang William Hermans Deandels.

Wabah kolera dan rusaknya sanitasi di daerah itu, membuat Daendels memindahkan pusat pemerintahan ke Weltevreden yang sekarang menjadi kawasan Gambir, Lapangan Bantengm, dan gedung Departemen Keuangan.

Saat ini, di sepanjang Jalan Cengkeh, di kanan kirinya hanya bisa kita temui kawasan yang berisikan gedung-gedung yang menjadi bangunan pertokoan. Para pedagang di sepanjang jalan ini didominasi pengusaha terpal/tenda yang bahan jadinya juga dikirim ke berbagai daerah. Ada juga satu-dua pedagang yang menjual obat-obatan dan elektronik. Memang tak lagi bisa dijumpai bangun arsitektur Cina di kawasan tersebut. Semuanya sudah berubah. Perjalanan panjang mungkin membuat bangunan di sana berkali-kali mengalami perubahan bentuk.

Namun, ternyata masih ada satu lagi lokasi yang menjadi denyut keberadaan Kapiten Souw Beng Kong di Kawasan Kota Tua. Kapiten Souw Beng Kong diketahui pernah dihadiahi rumah oleh VOC di daerah Loji Selatan. Kawasan tersebut juga diketahui merupakan kampong Tionghoa pertama di Batavia. Sebelum kedatangan Souw Beng Kong beserta rombongannya, etnis Tionghoa sudah memasuki Batavia sejak abad ke tujuh.

Selain itu, Loji Selatan dulunya juga merupakan kawasan pasar ikan pertama yang dibangun VOC. Pemindahan Pasar Ikan dari Barat ke Timur Kali Ciliwung atau yang menjadi Pasar Ikan sekarang, dilakukan JP Coen pada 1636, saat terjadi pendangkalan air di wilayah tersebut. Selain Pasar Ikan, kawasan Loji Selatan dulunya juga dikenal dengan pasar hewan atau pasar ayam.

Sejarah juga mencatat di kawasan Loji Selatan juga pernah terjadi pembantaian yang dilakukan VOC kepada belasan ribu etnis Tinghoa di sana. Saat itu perkampungan Cina yang ada di sana juga ikut dibakar. Pembantaian dilakukan VOC pada 1740 di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Adrian Valckenier. Jika kita berkunjung ke Museum Bahari saat ini, masih telihat lukisan tempo dulu yang menggambarkan saat perkampungan Cina itu dibumi hanguskan. Kapiten Nie Hoe Kong merupakan kapiten yang saat itu menjabat.

Saat ini jika kita berkunjung ke kawasan Loji Selatan, kita hanya bisa menemui hamparan tanah kosong dengan beberapa tumpukan pasir beserta truk-truk yang mengangkutnya. Pangkalan ojek juga ikut menjadi penghuni area ini. Sudah lama kawasan ini memang dibiarkan kosong. Padahal, dulu sejarahnya, sebagaian dari kawasan Loji Selatan merupakan bengkel besar tempat perbaikan jung-jung (kapal-kapal) Cina.
 Untuk memasuki daerah Loji Selatan via Museum Bahari, para wisatawan biasanya mengambil jalur lewat bagian barat galangan VOC yang juga bersebarangan dengan Restoran Raja Kuring. Sebelum memasuki kawasan Loji Selatan, kita juga akan melewati jembatan Kota Intan, jembatan tertua yang berada di Jakarta. Jembatan Kota Intan memiliki panjang 30 meter dan lebar 4,40 meter. Jembatan ini dibangun pada tahun 1828 dengan awalnya bernama Engelse Brug (jembatan Inggris).

Saat itu, jembatan digunakan untuk kepentingan bisnis dan transportasi VOC dan sekutunya Inggris. Pasa kemerdekaan RI, nama Kota Intan diberikan. Nama Intan juga diabadikan tidak terlepas dari perjalanan VOC di Batavia. Engelse Brug berposisi di salah satu sudut kastil Belanda. Kastil Belanda yang ada di sana memiliki empat sudut yang masing-masing dipersenjatai dengan meriam siap tembak. Ke empat sudut itu dinamai Diamont (intan), Robijn, Parel, dan Safier.
 
 APAKAH MASIH ADA KETURUNAN SOUW BENG KONG ?
Banyak sejarawan yang menyebut sudah tidak ada lagi keturunan Kapiten Souw Beng Kong yang tersisa di Batavia. Banyak marga Souw keturunan Beng Kong pada abad ke 18 yang hijrah ke Taiwan saat terjadi pembantaian etnis Tionghoa di Batavia. Taiwan saat itu juga masih tergabung dalam jajahan Belanda. Hingga saat ini sudah sangat sulit menerka siapa yang masih memiliki ikatan darah dengan Kapiten Souw Beng Kong.

Ini mengingat sudah tidak ada lagi bukti tertulis akan silsilah sang Kapiten. Diduga pula hal ini terjadi karena etnis Tionghoa sempat mengalami krisis pendidikan hingga buta baca tulis pada pertengahan abad ke 18. Maka itu, kalaupun masih ada, sangat susah sekali untuk dibuktikan. Saat Yayasan Souw Beng Kong ingin melakukan pemugaran makam pada tahun 2006, sempat ada beberapa orang yang datang dan mengaku merupakan keturunan Souw Beng Kong. Namun pembuktian hukum atas pengakuan itu, sampai saat ini belum diterima.  

MENYUSURI KAWASAN PATEKOAN

Masih di sekitar Kawasan Kota Tua, kita bisa melangkahkan kaki menuju Jalan Perniagaan Raya di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Jalan Perniagaan dulunya dikenal dengan nama Jalan Patekoan. Patekoan berasal dari ‘delapan teko’. Dalam beberapa catatan sejarah, adalah kapiten Cina ke empat, Kapiten Gan Djie, yang membuat jalan ini menjadi Jalan Patekoan. Kapiten Gan Djie beserta istrinya yang asal pribumi sering menyediakan delapan teko di teras rumahnya untuk siapa pun pedagang yang kehausan saat melintas.

Bila dari arah Tambora menuju Jalan Perniagaan, kita akan melintasi kepadatan Pasar Pagi Tambora yang banyak menjual mainan anak-anak dan buku perlengkapan sekolah. Jalan Perniagaan ternyata sama padatnya dengan aktivitas perniagaan di kawasan Pasar Glodok. Kanan-kiri jalan, saling berhadapan ruko-ruko yang menjual beraneka ragam komoditas, mulai dari perabot rumah tangga, elektronik, hingga keperluan dapur.

Di Jalan Perniagaan ini terdapat satu-satunya bangunan rumah yang masih dipertahankan dalam arsitektur Cina. Arsitektur Cina dalam rumah bernomor 7 itu ditandai dengan atap berbentuk trapezium dengan kedua ujung sisi yang melengkung ke atas. Beberapa aksen khas tanah Cina juga mengisi beberapa sisi di peyangga atap. Rumah ini sempat tidak terlihat lantaran halaman depan menjadi lahan parkir truk pengangkut barang. Orang-orang setempat mengenal rumah ini sebagai Rumah Keluarga Souw.
 Rumah Keluarga Souw terbilang besar dengan tinggi seukuran ruko tiga lantai. Pagar abu-abu menjulang tinggi menutup dua pertiga muka bangunan. Mengintip ke dalam teras rumahnya, bangunan ini telah ditempel stiker yang bertuliskan ‘Bangunan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta 2003’

Rumah Keluarga Souw yang berdampingan dengan pusat grosir perniagaan itu memiliki luas 3000 meter per segi dengan altar sembahyang di dalamnya seluas 10 x 10 meter. Rumah ini konon sudah ada sejak tahun 1700. Rumah ini dihuni oleh beberapa kepala keluarga bermarga Souw, yakni Souw Tek Tjoan, Souw Kiok Eng, Souw Goei Tjoan, Souw Tiong Tjoan, Souw Gie Tjoen, dan Souw Bie Tjoan.
Mereka semua yang memiliki hubungan kakak-adik, memang mengaku merupakan keturunan dari Kapiten Souw Beng Kong, tepatnya generasi ke sembilan. Namun pengakuan itu pun hanya berdasarkan cerita dari para orang tua dan leluhurnya. Bahkan hingga saat ini pun mereka juga masih memiliki keraguan. Waktu 400 tahun memang telah membuatnya sulit untuk merunut silsilah leluhur mereka. Namun mereka akan merasa bangga jika memang diakui sebagai keturunan Souw Beng Kong.
 
sumber : http://indonesia-feature.blogspot.co.id/2013/08/melacak-jejak-sejarah-kapiten-souw-beng.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar